
Herbert Marcuse: Utopia dan Teriakan Revolusi dari Berlin
Setiap kali saya mengingat Marcuse, samar-samar saya melamunkan sajak Wiji Thukul tentang orang-orang berilmu yang serupa “cukong”, yang memanfaatkan ilmu jadi alat tipu-tipu. Katanya, “Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli.”
Memang, melalui ilmu, seseorang dapat menemukan kebenaran. Dan dengan meyakini pendapat tersebut, bahwa keyakinan itu betul-betul sahih, tentu kita juga harus mempercayai pendapat yang berlawanan: melalui ilmu seseorang dapat menciptakan kepalsuan. Sampai akhirnya ilmu menjadi ilham atas tindakan, menjadi rujukan seseorang dalam berbuat. Ilmu adalah sebuah praxis. Barangkali itulah yang menyebabkan kata-kata Wiji Thukul tak berlaku pada Marcuse.
Semua orang tahu, Marcuse adalah bagian dari Mazhab Frankfurt—sebuah Institusi Penelitian-penelitian Ilmu Sosial dengan visi emansipatoris yang berdiri pada tahun 1923 di Frankfurt, Jerman. Di sana, teori bukanlah teori sebagaimana arti terbatasnya yang sering kita temui di kamus-kamus atau di buku-buku pelajaran SMA. Teori adalah medium antara dunia-akal dan tindakan; ia juga kritik dan sikap politik. Dengan kata lain: aktivisme.
Akan tetapi, Marcuse tak serta-merta berada dalam barisan pemikir-pemikir besar Frankfurt. Mengutip Adorno, Marcuse cuma “sempalan marjinal” atau enfant terrible (anak yang mengerikan) dari Mazhab Frankfurt. Marcuse dianggap tak punya visi yang sama karena aktivitas politiknya yang radikal, yang membuat kredibilitasnya sebagai seorang ilmuwan patut dipertanyakan.
Ambigu memang; di satu sisi, Mazhab Frankfurt mengumandangkan posisi ideologisnya yang emansipatif terhadap masyarakat, sebuah visi yang ingin mendestruksi peran intelektual agar tidak bertempat di menara gading seperti halnya para pemikir Era Pencerahan; di sisi lain, Adorno seolah-olah mensahkan bahwa intelektual memang harus membuat jarak dengan realitas, bahwa objektifitas mengandaikan keberjarakan dengan realitas.
Saya sendiri bingung dengan impresi yang disampaikan Adorno. Sebab, jika benar emansipasi adalah visi utama Mazhab Frankfurt, dalam banyak hal, Marcuse sudah melakukan lebih daripada pemikir lain yang ada di dalam institusi ini – pemikiran Marcuse telah menginspirasi mahasiswa-mahasiswa radikal baik di Eropa dan Amerika; Marcuse berkeliling dunia untuk menyampaikan keyakinannya terhadap peran paradoks kapitalisme yang justru membuat intensitas represi menjadi menurun dan revolusi mungkin terjadi.
Saya menduga, ada dua hal yang menjadi latarbelakang retaknya hubungan Marcuse dengan anggota Mazhab Frankfurt:
(1) sebagaimana yang diceritakan Martin Jay, apa yang dikatakan Adorno tak lebih dari sikap tidak terima karena pada saat institusi itu didemo oleh ribuan mahasiswa pada tahun 1960an, Marcuse justru berada di pihak mahasiswa;
(2) dalam setiap kajian teoritisnya, Marcuse tak pernah mengemukakan hal-hal tak menentu dan tak terlukiskan (binderloss) seperti halnya yang menjadi latar intelektual para tokoh lain di Mazhab Frankurt.
Jika pemikiran orang-orang macam Adorno, Horkheimer, Benjamin, Fromm (etc.), lebih dekat dengan Max Weber dan Nietzsche, Marcuse justru banyak diilhami oleh pemikiran Husserl dan Heidegger—meski dapat dikatakan, satu-satunya yang kemudian mempersatukan mereka adalah kepercayaan pada asumi Marx bahwa teori adalah medium kritik.
*
Marcuse lahir di Berlin pada tahun 1898. Setelah bertugas bersama tentara Jerman dalam Perang Dunia Pertama, dia pergi ke Freiburg untuk melanjutkan studinya. Pada tahun 1922, Marcuse menerima gelar PhD dalam bidang sastra, dan selama masa studi itu pula ia menjadi penjual buku sekaligus pengelola salah satu penerbitan di Berlin.
Sampai pada tahun 1928, ia kembali ke Freiburg untuk mengikuti kuliah Martin Heidegger, yang merupakan salah satu pemikir paling berpengaruh di Jerman. Esai pertama Marcuse terbit pada tahun 1928, sebuah upaya untuk mensintesiskan fenomenologi, eksistensialisme dan Marxisme, yang dikemudian hari dilakukan lagi oleh berbagai Marxisme ‘eksistensial’ dan ‘fenomenologis’, seperti Jean-Paul Sartre dan Maurice Merleau-Ponty, serta para siswa dan intelektual gerakan Kiri Baru.
Pada tahun 1933 Marcuse bergabung dengan Mazhab Frankfurt. Sebenarnya Marcuse tidak pernah benar-benar bergabung dalam Mazhab ini, selain tidak pernah menghadiri rapat keanggotaan karena terbatasnya kesempatan untuk bertemu di tengah-tengah kekacauan yang ditimbulkan Nazi, juga karena setelah berimigrasi ke Amerika, Marcuse banyak beraktivitas di dalam program-program pemerintah. Mazhab Frankfurt diberikan kantor oleh Universitas Columbia, tempat Marcuse bekerja pada tahun 1930an dan awal 1940an.
Pada tahun 1941 karya besarnya yang pertama terbit dalam bahasa Inggris, Reason and Revolution, sebuah penelusuran asal usul gagasan Hegel, Marx, dan sumbangsihnya terhadap pembentukan teori sosial modern. Di tahun yang sama, Marcuse bergabung dengan Kantor Pelayanan Rahasia dan kemudian bekerja di Departemen Luar Negeri milik pemerintah Amerika, menjadi kepala biro Eropa Tengah pada akhir Perang Dunia Kedua. Marcuse selalu mengklaim bahwa pelayanannya kepada pemerintah AS dari tahun 1941 sampai awal 1950an dimotivasi oleh keinginan untuk berjuang melawan fasisme. Sampai akhir hayatnya, Marcuse menetap di Amerika.
Menurut saya, ada dua karya Marcuse yang tidak boleh dilewatkan ketika hendak memahami pemikirannya, yakni Eros and Civilization yang terbit pada tahun 1955 dan One-Dimensional Man terbit pada tahun 1964. Jika yang pertama menyasar pada bagaimana sistem represi bekerja dan perubahan-perubahannya di dalam kapitalisme modern (yang menurut saya agak mirip dengan pemikiran Zizek mengenai ‘kesadaran palsu’) yang mana Marcuse banyak meminjam pemikiran Freud mengenai “pansexualism”; yang kedua membahas implikasi “ganda” dari sistem represi, antara afirmasi dan negatifitas, yang mengakibatkan masyarakat industri maju benar-benar terjerat dalam sifat manipulatif sistem kapitalisme.
Apabila dalam karya-karya awalnya Marcuse tampak demikian berapi-api, di akhir hayatnya kita justru melihat ada kesenduan yang tak lantas mudah hilang. Tapi, sebagaimana yang diyakini Marcuse, tak ada yang salah dengan utopia; “utopia bukanlah utopia apabila dapat dicapai secara realistis hari ini.”
Eros dan Peradaban
Rp 85.000Manusia Satu-Dimensi
Rp 80.000
- Herbert Marcuse: Utopia dan Teriakan Revolusi dari Berlin - 16 Agustus 2017