
Hemingway: Ombak yang Tak Pernah Surut Mengunjungi Kita
Menyebut nama Ernest Hemingway adalah menyebut salah satu nama asing yang akrab. Karyanya dalam bentuk terjemahan sudah menemui kita sejak zaman Chairil Anwar; sang penyair tersebut menerjemahkan satu cerpennya yang populer hingga kini dengan sangat bagus, Tempat yang Bersih dan Lampunya Terang. Hemingway sendiri sudah meninggal hampir tujuh windu yang lalu, pada tahun 1961, tetapi ia tetap menemui kita di masa ini; tahun 2017 kita menyambut terbitnya terjemahan antologi lengkap 70 cerpennya dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh penerbit Immortal.
Akan tetapi, “antologi cerpen lengkap” itu pada dasarnya tidaklah “lengkap”. Bahwa “lengkap” itu adalah terjemahan dari “complete”, itu benar, lebih tepatnya dari satu buku utuh The Complete Short Stories of Ernest Hemingway yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1987 oleh Scribner. Namun, bahwa antologi itu benar memuat seluruh cerita pendek yang pernah ditulis Hemingway, itu yang masih perlu dibicarakan. Antologi ini, misalnya, tidak memuat keseluruhan cerita Hemingway dalam The Nick Adam Stories yang diterbitkan Scribner pada tahun 1972.
*
Hemingway, Ernest Miller Hemingway, lahir pada tahun 1899 di Illinois. Mulanya, dia adalah seorang jurnalis sebelum kemudian menjadi novelis. Pada masa Perang Dunia Pertama, dia menjadi sopir ambulans di Italia, menjelajahi Paris, Spanyol, Kuba sambil tetap menulis karya sastra ataupun menulis laporan-laporan sebagai jurnalis. Tahun 1953 dia mendapatkan hadiah Pulitzer untuk kategori fiksi atas novelanya, The Old Man and the Sea. Setahun setelahnya, dia meraih hadiah Nobel Sastra atas “keunggulan seni naratifnya, terutama yang baru-baru ini ditunjukkan melalui The Old Man and the Sea, dan atas pengaruh yang dia berikan terhadap gaya kiwari”.
The Old Man and the Sea diterbitkan pertama kali pada tahun 1952, difilmkan pertama kali pada tahun 1958, diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Indonesia oleh Sapardi Djoko Damono pada tahun 1973, dan bertahan hingga kini sebagai salah satu kanon kesusasteraan Amerika.
Hemingway adalah seorang penulis yang produktif dengan gaya penulisan yang dikomentari oleh seorang kritikus Amerika, Henry Louis Gates Jr., sebagai upaya penegakan makna melalui “dialog, lakuan, dan kesunyian”. Kita mungkin sudah mengenalnya lewat karya-karya prosa—novel dan cerita pendek—dengan judul-judul yang ikonik seperti Lelaki Tua dan Laut, Pertempuran Penghabisan, Salju Kilimanjaro, sampai Kematian di Ujung Senja dan Angkatan Kelima, tapi yang mungkin belum banyak kita jelajahi adalah puisinya.
Tidak banyak memang yang membahas bahwa Hemingway menulis puisi. Buku pertamanya yang terbit pada tahun 1923 berjudul Three Stories and Ten Poems, dan sesuai dengan judulnya, isinya memang tiga cerita pendek dan sepuluh buah puisi. Dan pernah, bahkan, pada suatu hari ia mengatakan bahwa “novel telah mati”, sebelum dia membaca The Great Gatsby-nya Fitzgerald. Tapi dia berhenti mempublikasikan puisinya saat dia mulai tenar sebagai penulis, meski dia kemudian tetap menulis puisi. Antologi puisi lengkapnya diterbitkan pada tahun 1979 setebal 171 halaman. Salah satu puisinya selengkapnya adalah ini:
Jangan pernah percaya seorang kulit putih,
Jangan pernah membunuh seorang yahudi,
Jangan pernah tandatangani kontrak,
Jangan merusak bangku gereja,
Jangan mendaftarkan diri menjadi tentara;
Ataupun menikahi banyak istri;
Jangan pernah menulis untuk majalah;
Jangan pernah menggaruk penyakit gatalmu.
Selalulah letakkan kertas di tempat duduk,
Jangan percaya peperangan,
Jagalah dirimu tetap bersih dan rapi,
Jangan menikahi wanita-wanita sundal.
Jangan pernah membayar seorang pemeras,
Jangan pernah menuntut ke pengadilan,
Jangan pernah percaya penerbit,
Atau kau akan tidur di atas jerami.
Seluruh kawanmu akan meninggalkanmu
Seluruh kawanmu akan meninggal
Maka jalanilah kehidupan yang bersih dan sehat
Dan bergabunglah dengan mereka di langit biru.
Sebuah puisi yang sangat Hemingway: si “bapak” yang sudah melihat banyak hal dalam kehidupan pada usianya yang masih muda dan merumuskan semacam Dekalog untuk penerusnya. Puisi itu konon ditulis pada awal tahun 1930-an oleh Hemingway untuk putranya, sebuah nasihat tentang bagaimana menjalani kehidupan. Pada usia mudanya itu dia sudah melihat sendiri dahsyatnya perang, menjalani pekerjaan di surat kabar, menerbitkan novel, puisi, dan antologi cerita pendek, dan masuk ke pernikahannya yang kedua.
*
Hemingway lahir dari keluarga kaya, lalu tumbuh dengan ketertarikan yang kuat akan jurnalisme. Menarik melihat bahwa gaya tulisan fiksinya dengan tulisan jurnalismenya memiliki karakteristik berbeda meski sama-sama kuat dalam narasi: diksi-diksi yang dia gunakan dalam fiksinya cenderung lebih sederhana meski nonfiksinya terasa lebih sukar, yang mungkin disebabkan oleh banyaknya diksi khusus ranah tertentu—soal memancing, misalnya—yang membutuhkan pengetahuan khusus dari sekadar makna diksi tersebut, satu hal yang di sisi lain menunjukkan bahwa Hemingway selalu paham benar apa yang ditulisnya. Secara singkat, dia sendiri pernah mengatakan bahwa gaya penulisannya adalah “warisan” The Kansas City Star, tempat dia pernah menjadi jurnalis selama 6 bulan selulus dari sekolah menengah: menggunakan kalimat-kalimat pendek, menggunakan paragraf-paragraf awal yang pendek, menggunakan bahasa Inggris yang bergelora, bersikap positif alih-alih negatif.
Sebagai seorang jurnalis, Hemingway adalah seorang petualang yang pernah melanglang-buana ke berbagai negeri. Hal itu pulalah yang membuat dia mengenal sederetan tokoh ternama pada zamannya, dari mulai James Joyce, Gertrude Stein, Ezra Pound, F. Scott Fitzgerald, sampai Fidel Castro. Dalam kehidupan asmaranya, dia terkenal sebagai seorang pecinta yang luar biasa: menikah empat kali, menjalani sederetan afair, dan sempat dituduh oleh istri Fitzgerald sebagai seorang homoseksual berpasangan dengan suaminya. Lalu pada tahun 1961 dia—mengikuti jejak bapaknya—mati bunuh diri.
Dalam satu puisinya yang lain, termuat dalam antologi pertama karyanya, Hemingway menulis:
Samodera mengombak dengan cinta,
Melanda, membelai,
Menggoyang-goyangkan perutnya yang penuh kasih.
Begitulah pada dasarnya sang juru bicara The Lost Generation—generasi para penulis Amerika yang tumbuh saat terjadinya Perang Dunia I—ini. Ia adalah samodera yang tak henti mengombak dan membelai kita baik melalui adaptasi karya-karyanya ke dalam film—yang terbaru adalah adaptasi novel The Garden of Eden pada tahun 2008—ataupun melalui terjemahan kini, pada tahun 2017, ketika antologi lengkap cerita pendeknya diterbitkan dalam bahasa Indonesia setebal hampir seribu halaman.
A Farewell to Arm
Rp 99.000Rp 89.100Death in the Afternoon
Rp 99.000Rp 89.100
- O Henry: Genius Pengagum 1001 Malam - 25 September 2017
- Salinger: Dia yang Menulis dari Kesunyian - 13 Agustus 2017
- Hemingway: Ombak yang Tak Pernah Surut Mengunjungi Kita - 10 Juni 2017