
Efek Mimoun
Ini cerita penyiksaan, pembunuhan—hanya saja pelakunya sebuah kota.
Manuel, seorang penulis Spanyol, mendapat pekerjaan mengajar di Maroko, di Fez, dan menetap di sebuah kota bernama Mimoun. Mulanya, kota ini membentang sebagai lanskap yang indah, “tanah merah yang lembab, juga dengan langit cerah bersih yang seperti terlapisi pulasan enamel”, lengkap dengan “bau asap bakaran kayu, udara segar dan siluet menara yang menjulang ke langit terang”.
Akan tetapi, dari balik keeksotisan itu, pelan-pelan muncul Mimoun yang sebenarnya, yang anginnya “berhembus tak ramah pada ranting pepohonan, hingga ranting-ranting itu bergemerisik, mengganggu pikiranku. Berlanjut, dengan suaranya yang memilukan, yang mengusik perasaan dan menelantarkanku pada keadaan paling mendalam dari seseorang, yang kemudian pernah mengalami masa-masa itu”.
Kota ini seperti menyerap jiwa penghuninya. Siapa saja yang hidup di sana seolah tidak akan bisa kembali menemukan dirinya yang lama. Fransisco, contohnya, pematung Spanyol yang datang ke sana agar bisa bekerja dengan tenang, nyatanya tidak pernah memahat lagi. Ia justru “dihinggapi perasaan gundah setiap kali mengingat kegemarannya itu”. Di Mimoun ia hidup seperti tikus got, di rumah yang diliputi desas-desus angker tentang seorang misionaris yang mati tergantung dan bagian kaki sampai lehernya habis dimakan anjing liar.
Ada juga Charpent, penyair Prancis yang punya reputasi cukup baik di negeri asalnya tapi berakhir seperti tanaman layu di Mimoun. Ia mengurung diri di rumah, tak banyak interaksi dengan orang, mulai berteman sedikit dengan Manuel, lalu mati tak jelas. Ia hanya menulis satu puisi di pengujung hayatnya—yang terbaik yang pernah dia tulis, menurutnya.
Manuel sama saja dengan dua pendatang itu. Ia tak menulis apa pun di kota itu, cuma mabuk-mabukan di bar dan akhirnya mengenal penduduk asli yang sama kacaunya: Rachida, wanita yang membantunya mengurus rumah, yang ternyata seorang pencuri; Hassan, kawan sepeminuman, yang melarikan diri dari rumah ayahnya demi hidup bersama perempuan aneh bernama Aixa; polisi Driss, yang alih-alih melindungi malah lebih pantas disebut mengancam.
Tidak ada penjelasan pasti mengapa tokoh-tokoh tersebut memiliki sifat demikian mengerikan. Mereka seperti secara alami digerakkan oleh langit Mimoun yang semakin kelabu, hujan tak henti-henti, rumah-rumah busuk, mulut-mulut berbau alkohol untuk membuat orang lain merasa seperti di neraka. Belum lagi, sifat mereka bisa berubah kapan saja. Hassan bisa tiba-tiba menjauhi Manuel yang sudah karib, lalu tiba-tiba muncul untuk mengatakan Manuel adalah teman baiknya, minum-minum bersama sebentar, kemudian menggebukinya.
Kematian Charpent juga sama tidak jelasnya. Satu-satunya tanda kematiannya adalah Manuel menemukannya pergi bersama orang Maroko yang terus-terus menatap tajam ke Manuel (Manuel bertemu lagi dengan orang ini di akhir cerita dan ia semakin yakin untuk pergi dari Minoun). Bahkan, tidak ada penjelasan bagaimana Charpent yang sudah mati bisa mencairkan uang di bank Paris untuk biaya pemakamannya. Apakah ia sudah merencanakan sejak awal untuk menggantung dirinya?
Dan bila kalian ingin tahu apa yang tidak ada di cerita ini, itu adalah motif.
Beberapa penulis menganggap sakral keberadaan motif dalam sebuah cerita. Tapi Rafael Chirbes agaknya cuek belaka menendangnya dari novel ini. Saya tipe penulis yang tidak keberatan dengan itu. Bagi saya, tidak adanya motif membuat Chirbes berhasil membangun Mimoun yang misterius dan menekan. Guncangan psikologis tokoh-tokohnya seperti sebuah efek tak terelakkan atas waktu-waktu yang mereka habiskan di Mimoun. Semuanya mencari cara bertahannya masing-masing: Charpent mengurung diri, Hassan mempertahankan cintanya dengan Aixa, Manuel teler setiap hari sampai ia merasa “ketidaknyamanan fisik yang disebabkan oleh minuman keras kuanggap tak terlalu penting”.
Keterasingan dan keanehan sifat orang Mimoun itu seperti pohon-pohon besar penyendiri yang mencari-cari akarnya sendiri di bawah tanah. Inti novel ini barangkali terletak di ucapan Manuel itu. Akar-akar para tokoh Chirbes sudah terkubur jauh di bawah tanah Mimoun. Mereka seperti hantu yang hanya bisa mengganggu orang lain atau merusak diri sendiri.
Sayangnya, penulisan novel ini dalam bahasa Indonesia kacau. Kalimat-kalimatnya sering tidak mulus. Barangkali masalah penerjemahan yang kurang baik yang membuatnya tersendat. Penerjemahan langsung dari bahasa aslinya memang tidak menjamin hasil yang oke. Tapi dari jejak-jejak yang masih bisa kita ikuti dalam kekacauan ini, kita dapat mengintip ke dalam kehidupan yang gelap di Mimoun.
- Efek Mimoun - 18 Oktober 2017
- Dendam-Dendam yang Tak Berkesudahan - 21 Juni 2017
- Dia yang Datang, Berlalu, dan Tetap Tinggal - 11 Maret 2017